MANGKRAKNYA PEMBANGUNAN GEDUNG TITIK NOL KOTA TANGGERANG SELATAN, MENARA PANDANG DIKRITIK OLEH SEGELINTIR KALANGAN MASYARAKAT
Rencana pemerintahan kota (Pemkot) Tangerang Selatan (Tangsel) membangun gedung atau menara titik nol Kota Tangsel disamping masjid Al I’thisom, Jl. Raya Maruga, Kel. Seru, Ciputat menuai banyak protes dan pertanyaan dari segelintir kalangan masyarakat. Proyek pembangunan gedung Menara Pandang di kawasan Puspemkot Tangerang Selatan (Tangsel) ini menghabiskan biaya Rp 17 Miliar. Ia menjelaskan, kucuran dana kas daerah sebesar Rp 17 Miliar ini belum termasuk untuk pengadaan furniture.
Peneliti Tangerang Public Transparency Watch Aan Dirga mengatakan, pembangunan menara yang nantinya akan menjadi objek untuk galeri pameran dan usaha kecil menengah (UKM) itu dikerjakan sejak 2017 silam. Pada tahun 2020 mendatang juga Kota Tangsel akan menjadi tuan rumah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia, namun ketika disinggung saat Apeksi 2020 dipastikan proyek pembangunan gedung Menara Pandang dipastikan tidak mungkin rampung sepenuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Bangunan dan Penataan Ruang (DBPR) Kota Tangsel Hendri Sumawijaya, mengatakan bangunan setinggi 70 meter nantinya akan menjadi menara pandang atau titik nol Kota Tangsel yang dapat melihat seluruh wilayah kota yang memiliki 7 kecamatan. Ia juga menyatakan pembangunan menara itu dipastikan tidak akan dilanjutkan pada tahun ini karena buruknya perencanaan pembangunan. Ia pun mengungkap alasannya bahwa kontraktor pelaksana pembangunan terkena denda. Sebab dalam pelaksanaannya terjadi keterlambatan. Dirinya menerangkan pada pekerjaan tahap kedua pihak ketiga masih melaksanakan pekerjaan hingga Juni 2019 kemarin. Hal itu menyebabkan kontraktor diganjar pinalti sebesar Rp 500 juta karena melewati batas kontrak pekerjaan. Oleh karena itu pada Tahun Anggaran 2019 ini diputuskan pekerjaan tidak dilanjutkan.
Di lain pihak, kelompok mahasiswa dari Sekolah Anti Korupsi (Sakti) dan Ikatan Alumni Sekolah Anti Korupsi (Ikasakti) Tangerang, mempertanyakan urgensi pembangunan menara setinggi 70 meter itu.
Aan Widyajunianto, koordinator Ikasakti, mengaku heran terhadap pemerintah kota yang lebih memilih membangun menara dari pada memperbaiki pelayanan lain yang lebih pokok. Ia juga menyebut parahnya pengelolaan sampah dina Pasar Serpong yang menurutnya lebih penting mendapat perhatian dari pada membangun menara.
PERMASALAHAN YANG ADA :
1. Dimulai dari dana yang cukup besar, yaitu Rp 17 Miliar yang tidak bisa dimaksimalkan oleh kontraktor dan pengelola proyek.
2. Manejemen Proyek yang buruk, keterlambatan dalam pengerjaan menyebabkan mangkraknya pelaksanaan pada proyek ini.
3. Denda Rp 500 Juta yang diajukan menambah beban pengeluaran proyek ini, dimana dikarenakan sang kontraktor tidak menaati peraturan yang diberikan.
TANGGAPAN PENGKRITIK :
Kritik dari segelintir kalangan masyarakat yang menilai kurang maksimalnya fungsional dibangunnya menara ini. Masyarakat juga mempertanyaan urgensi pembangunan menara ini karena pemerintah lebih memilih membangun menara daripada memperbaiki pelayanan sarana dan pra sarana maupun pengelolaan sampah yang juga perlu diperhatikan.
PENDAPAT PRIBADI / KRITIK :
Seharusnya pihak kontraktor bisa mengatur segala macam aspek yang menjadi keuntungan maupun kerugian dari pembangunan proyek ini. Manejemen proyek yang terorganisir dengan baik juga perlu diberlakukan, misalnya dalam proses sosialisasi dengan warga sekitar harus mendapatkan persetujuan yang baik, juga dalam menentukan alat dan bahan yang memang diperlukan, dan target pekerjaan yang harus bisa sesuai dengan yang telah ditentukan. Pengeluaran juga harus bisa diatur dan dicatat dengan baik, guna meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Menegakkan aturan dan peraturan yang ada juga harus diberlakukan oleh kontraktor maupun pengelola, agar segala pekerjaan berjalan dengan baik.
Sumber : tribunnews.com